Panggilan Subuh di Pesantren
Fajar baru saja merekah di langit Timur, mengusir sisa-sisa gelap malam. Di Pondok Pesantren Nurul Huda, aktivitas sudah dimulai sejak dini hari. Suara adzan subuh menggema dari masjid kecil di tengah kompleks, membangunkan para santri yang masih terlelap di bilik-bilik kayu mereka.
Aqil, seorang santri baru, membuka mata perlahan. Suara azan itu terasa asing baginya, seperti membangunkan kenangan masa kecil bersama ayahnya. Dengan enggan, ia bangkit dari kasur tipisnya, menatap teman sekamarnya yang sudah lebih dulu bersiap-siap.
“Kamu belum wudhu, Aqil?” tanya Fadli, teman sekamarnya yang sudah mengenakan sarung dan peci.
“Sebentar lagi,” jawab Aqil, mencoba menepis rasa malas yang menyelimuti tubuhnya.
Ini minggu pertama Aqil di pesantren. Sebagai anak kota, kehidupan di pondok jauh dari bayangannya. Tidak ada ponsel, tidak ada televisi, dan jadwal kegiatan yang padat membuatnya merasa terkurung. Namun, ia tahu keputusan orang tuanya mengirimnya ke pesantren bukan tanpa alasan. Ayahnya ingin Aqil belajar menjadi anak yang lebih disiplin dan bertanggung jawab.
Setelah berwudhu, Aqil berjalan menuju masjid dengan langkah pelan. Udara pagi yang dingin menyapa kulitnya. Di dalam masjid, para santri sudah duduk rapi, menunggu imam memulai shalat berjamaah. Suara pelan bacaan Al-Qur’an terdengar dari beberapa sudut, menciptakan suasana yang tenang dan khusyuk.
Usai shalat subuh, kegiatan tak berhenti. Para santri melanjutkan dengan halaqah, sebuah sesi mengaji bersama yang dipimpin oleh Ustaz Hamid, pengasuh pesantren. Aqil duduk di barisan belakang, mendengarkan ustaz menjelaskan tafsir surah Al-Baqarah. Kata-kata ustaz begitu lembut namun tegas, menyampaikan pesan-pesan moral yang dalam.
“Aqil,” panggil Ustaz Hamid tiba-tiba, membuatnya terkejut.
“I-iya, Ustaz?” balas Aqil dengan gugup.
“Coba baca ayat yang barusan kita bahas,” ujar Ustaz sambil tersenyum, memberikan mushaf kepada Aqil.
Aqil menarik napas panjang. Dengan suara pelan namun lancar, ia membaca ayat tersebut. Teman-temannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika selesai, Ustaz Hamid memuji bacaannya, memberikan semangat agar Aqil terus belajar.
Hari-hari berlalu, dan Aqil mulai terbiasa dengan kehidupan pesantren. Awalnya ia merasa terpaksa, tetapi perlahan ia menemukan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Persahabatan dengan Fadli dan teman-temannya membuat suasana menjadi lebih hangat. Bahkan, ia mulai menikmati saat-saat menghafal Al-Qur’an di bawah pohon mangga di halaman pesantren.
Suatu malam, Aqil duduk sendiri di teras masjid, menatap langit penuh bintang. Ia teringat pesan ayahnya sebelum berangkat ke pesantren. “Di sana, kamu bukan hanya belajar agama, tapi juga belajar arti kehidupan.”
Kini ia mulai mengerti. Pesantren bukan hanya tempat untuk memperdalam ilmu agama, tetapi juga tempat untuk membentuk karakter dan menemukan jati diri. Dalam kesederhanaan hidup di pondok, Aqil menemukan kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Azan isya terdengar, memanggilnya kembali ke masjid. Dengan langkah mantap, Aqil berjalan masuk, siap melanjutkan perjalanan panjangnya sebagai seorang santri. Di hatinya, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik, seperti harapan ayahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar