Minggu, 24 November 2024

TEKS NARASI(cerpen) - YOGA PRAWIRA

 Kehidupanku Sehari-Hari


Hari dimulai seperti biasa, alarm berdering pada pukul enam pagi, dan aku langsung mematikannya tanpa membuka mata. Beberapa menit kemudian, suara ayam berkokok dari rumah tetangga memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Tidak ada yang istimewa dari pagi ini. Matahari perlahan menyembul dari balik tirai jendela kamar, menyinari tumpukan buku dan pakaian yang berserakan di lantai.


Rutinitas pagi dimulai. Aku berjalan ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi hitam. Udara pagi yang sejuk terasa menyentuh kulitku saat aku membuka jendela dapur. Di luar, tetanggaku, Bu Rini, sudah sibuk menyapu halaman rumahnya. Seperti biasa, ia tersenyum sambil melambai ke arahku.


“Pagi, bu rini,” sapaku singkat.


“Pagi juga, yoga” jawabnya dengan nada ceria.


Aku menyesap kopiku pelan-pelan sambil duduk di kursi dapur yang sudah agak reyot. Di meja, selembar catatan belanjaan yang kutulis semalam menungguku. Beras, minyak goreng, telur, dan beberapa bahan lain terdaftar di sana, mengingatkan bahwa tugas hari ini belum dimulai.


Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar rumah, menuntun sepeda tua warisan ayahku menuju pasar. Jalanan kampung pagi itu cukup ramai, seperti biasa. Anak-anak berseragam sekolah berjalan berkelompok sambil bercanda, ibu-ibu membawa tas belanja besar, dan beberapa bapak duduk di warung kopi pinggir jalan sambil berbincang tentang politik dan harga cabai.


Pasar tradisional adalah salah satu tempat favoritku. Bukan hanya karena aku bisa membeli kebutuhan sehari-hari, tetapi juga karena suasana yang penuh kehidupan. Penjual sayur berteriak menawarkan dagangannya, pedagang ikan sibuk dengan pembeli yang menawar harga, dan aroma rempah-rempah bercampur dengan bau tanah basah sehabis hujan malam tadi.


Aku mampir ke lapak Mbok Siti, penjual sayur langgananku. Ia sudah berjualan di pasar ini sejak aku masih kecil.


“Biasa, Mbok. Sayur sop sama tempe,” kataku sambil menyerahkan kantong kain.


Mbok Siti tersenyum. “Tambah tahu goreng nggak? Hari ini masih fresh, Dina.”


“Boleh, deh,” jawabku sambil tersenyum.


Belanjaan selesai, aku kembali ke rumah dengan sepeda yang kini sedikit lebih berat karena keranjang penuh barang. Di jalan pulang, aku bertemu Pak Herman, tetanggaku yang bekerja sebagai satpam. Ia baru pulang dari shift malam dan terlihat lelah.


“Capek ya, Pak?” tanyaku sopan.


Pak Herman hanya tersenyum kecil. “Namanya juga kerja, Dina. Lumayan buat bayar sekolah anak-anak.”


Jawabannya membuatku merenung. Kehidupan sehari-hari memang seperti ini: penuh rutinitas, tetapi juga penuh perjuangan.


Setibanya di rumah, aku langsung mulai memasak. Dapur kecilku dipenuhi aroma bawang yang ditumis. Sementara sayur sop mendidih di atas kompor, aku menyiapkan tempe untuk digoreng. Memasak adalah salah satu aktivitas yang paling kusukai. Ada sesuatu yang menenangkan dalam proses mencampur bahan-bahan sederhana menjadi hidangan yang lezat.


Setelah makan siang, aku membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian adalah bagian dari rutinitas yang sudah mendarah daging. Kadang-kadang aku merasa lelah dengan semua ini, tetapi aku juga sadar, semua orang memiliki peran dalam hidupnya masing-masing.


Sore hari, aku duduk di teras sambil menikmati teh hangat. Langit berwarna oranye keemasan, dan suara adzan magrib mulai terdengar dari masjid di ujung jalan. Anak-anak kecil masih bermain layangan di lapangan, berlari ke sana kemari sambil tertawa riang.


Aku termenung, memikirkan betapa sederhana tetapi indahnya hidup ini. Kehidupan sehari-hari, dengan segala rutinitasnya, adalah cerita yang terus berulang. Tetapi justru di situlah letak keajaibannya. Setiap hari, meskipun tampak sama, selalu membawa sesuatu yang baru: senyum tetangga, sapaan teman lama, atau sekadar aroma kopi di pagi hari.


Malam pun tiba. Setelah makan malam dan menonton acara televisi yang membosankan, aku masuk ke kamar. Sebelum tidur, aku menuliskan beberapa hal yang harus kulakukan esok hari. Hidup adalah serangkaian tugas kecil yang harus diselesaikan, tetapi di antara semua itu, ada momen-momen sederhana yang membuat segalanya bermakna.


Aku mematikan lampu dan menarik selimut. Di luar, suara jangkrik terdengar samar. Hari ini adalah hari yang biasa, tetapi bagiku, kehidupan sehari-hari adalah sebuah keindahan yang tak ternilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAH - AHMAD SETIAWAN

 Sisi Lain Media Sosial: Antara Manfaat dan Dampak Negatif bagi Masyarakat Modern Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keh...