Ibu di Ujung Senja
Pada suatu sore yang sejuk, aku duduk di samping jendela rumah, memandang langit yang mulai dihiasi warna jingga. Waktu hampir sore, tapi ibu masih sibuk di dapur. Suara peralatan dapur yang beradu seolah menjadi lagu pengiring hari-hariku. Ibu, dengan tangan cekatan, selalu tahu bagaimana cara membuat rumah ini penuh dengan kehangatan.
Sejak ayah meninggal lima tahun lalu, ibu menjadi satu-satunya yang membesarkanku. Aku ingat betul, dulu ibu selalu mengajariku bagaimana merawat hidup dengan penuh cinta. Dari cara ibu menanam bunga di halaman rumah hingga cara dia menenun harapan di setiap doa yang terucap malam hari. Ibu tidak pernah mengeluh meskipun hidup kami tidak mudah. Bekerja keras sebagai penjahit dan merawatku sendirian, ibu selalu tampak kuat.
Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa aku lupakan—senyum ibu. Senyum itu yang selalu membuat dunia terasa lebih terang, meskipun hari-hari penuh dengan tantangan. Senyum ibu adalah sesuatu yang tidak pernah gagal membuatku merasa tenang, meskipun terkadang aku tahu ia tengah lelah.
Suatu malam, setelah selesai makan malam, ibu duduk di kursi tua di dekat jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Aku mendekat dan duduk di sampingnya.
"Kenapa, Bu?" tanyaku pelan.
Ibu tersenyum lemah, dan matanya yang mulai berkabut oleh usia menatapku dengan penuh kasih sayang.
"Kadang, aku berpikir, apakah kamu akan ingat semua yang aku lakukan untukmu," jawab ibu dengan suara lembut. "Aku tahu hidupmu akan jauh lebih baik tanpa aku, tapi aku berharap kamu akan selalu merasa ada yang mengingatmu, mengasihimu, dan memberimu semangat ketika aku tidak ada lagi."
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti setetes air yang jatuh ke hati, menumbuhkan rasa haru yang tak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Aku merasa takut, bukan karena aku tidak ingin berpisah dengan ibu, tetapi karena aku tahu, dalam sepi malam, hanya ibu yang selalu ada untukku—sumber kekuatan yang tak terhingga.
"Ibu," kataku, memegang tangan ibu yang mulai keriput, "Aku tak akan pernah lupa. Aku tak akan pernah bisa menggantikanmu, tapi aku akan selalu membawa setiap ajaran dan cinta yang ibu beri."
Ibu menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia hanya memelukku dengan lembut. Dalam pelukan itu, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kasih sayang—sebuah janji, bahwa cinta ibu akan selalu menjadi bagian dari hidupku, apapun yang terjadi.
Sore itu, di ujung senja, aku tahu bahwa ibu adalah kekuatan yang akan mengiringi setiap langkahku, bahkan ketika aku sudah harus melangkah tanpa dia di sisiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar