Senyum di Tengah Badai
Hujan deras mengguyur desa kecil itu. Angin bertiup kencang menerpa gubuk reyot tempat tinggal keluarga Pak Karta. Atap bocor, membuat mereka harus berteduh di bawah ember-ember yang diletakkan di berbagai sudut.
"Ayah, dingin sekali," rengek Sari, anak bungsu Pak Karta, sambil memeluk erat kakinya.
Pak Karta tersenyum lemah. "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi hujannya reda."
Ibu Karta berusaha menenangkan anak-anaknya yang lain. "Ayo kita main kartu dulu, ya?" tawarnya.
Mereka pun berkumpul di tengah ruangan, menerangi wajah satu sama lain dengan cahaya lilin yang redup. Suasana hangat tercipta di tengah keterbatasan mereka.
"Dulu, ketika Ayah masih muda, kita sering bermain di bawah hujan seperti ini," kenang Pak Karta. "Ayah membuat perahu kertas, lalu kita balapkan di genangan air."
"Ayah hebat!" seru Beni, anak kedua Pak Karta.
"Ayah juga bisa membuat layang-layang, lo!" timpal Sari.
Kenangan masa lalu itu seakan menghangatkan hati mereka. Meskipun hidup mereka penuh kekurangan, namun cinta dan kebersamaan selalu ada di antara mereka.
Keesokan harinya, matahari bersinar cerah. Pak Karta dan Beni pergi ke ladang untuk memperbaiki pagar yang rusak akibat badai. Ibu Karta dan Sari membersihkan rumah.
"Ibu, nanti sore kita bikin kue, ya?" pinta Sari.
"Tentu saja, Nak. Kita bikin kue kesukaan Ayah," jawab Ibu Karta sambil tersenyum.
Sore hari, aroma harum kue pisang memenuhi rumah. Pak Karta dan Beni pulang dengan membawa hasil panen sedikit sayuran. Mereka berkumpul di meja makan, menikmati kue pisang buatan Ibu Karta.
"Terima kasih, Ibu. Kue ini enak sekali," puji Pak Karta.
"Sama-sama, Yah. Yang penting kita semua bisa berkumpul bersama," balas Ibu Karta.
Meskipun hidup mereka sederhana, namun keluarga Pak Karta selalu merasa bahagia. Mereka saling menyayangi dan mendukung satu sama lain. Bagi mereka, kebersamaan adalah harta yang tak ternilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar