**Di Ujung Senja**
Senja menyapu langit dengan warna oranye yang memukau, memantulkan cahaya lembut di atas permukaan laut yang tenang. Dika, seorang pemuda yang baru saja kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun merantau, duduk di dermaga kayu yang sudah usang. Ia memandang jauh ke horizon, tempat di mana laut dan langit bertemu.
"Kamu kembali juga akhirnya," suara yang familiar terdengar dari belakang. Dika menoleh, dan melihat Fira, teman masa kecilnya, berdiri dengan senyum yang tidak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu—berdasarkan kenangan yang mulai kabur dalam ingatannya.
"Fira," Dika tersenyum tipis. "Lama tak jumpa."
Fira duduk di samping Dika, membiarkan angin laut yang segar menyentuh wajah mereka. Tidak ada kata-kata yang keluar dari keduanya untuk beberapa lama. Mereka hanya diam, menikmati ketenangan yang seolah-olah sudah lama tidak dirasakan. Laut yang tenang, langit yang mulai kelam, dan angin yang lembut, semuanya seperti mengingatkan mereka akan masa-masa yang telah lalu.
Dika tidak pernah benar-benar merencanakan untuk kembali. Kota besar, pekerjaan yang mengikat, dan segala kegelisahan hidup telah membawanya jauh dari kampung ini. Namun, sesekali, ia merindukan sesuatu yang sederhana: suara ombak, aroma tanah yang basah, dan wajah-wajah yang dikenalnya.
Fira, yang kini bekerja sebagai guru di sekolah dasar setempat, memandangi Dika dengan tatapan penuh makna. "Kamu tahu, kampung ini tidak banyak berubah. Tapi aku rasa, kamu yang banyak berubah," ujarnya pelan.
Dika menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. Namun, ia hanya tersenyum pahit. "Aku tidak tahu, Fir. Mungkin aku sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini."
"Tempat ini tetap sama, Dika. Mungkin yang berubah adalah cara kita melihatnya," Fira berkata, dengan nada bijak yang membuat Dika terdiam.
Mereka kembali terbenam dalam kesunyian. Hanya suara ombak yang terdengar. Dika memandang Fira, matanya mulai lembut. "Kamu selalu punya cara untuk membuatku berpikir, ya?"
Fira tertawa kecil. "Bukan aku, Dika. Ini hanya waktu yang membuat kita sadar."
Waktu. Dika merasa, waktu memang tidak pernah bisa kembali. Terkadang, kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal harus dilepaskan. Namun, ada juga saat-saat tertentu ketika waktu membawa kita kembali ke tempat yang kita lupakan, dengan pelajaran baru, dengan cara pandang yang lebih jernih.
Sore itu, senja semakin pekat, tapi Dika merasa hatinya sedikit lebih ringan. Mungkin ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak terlalu khawatir tentang masa depan. Di kampung halamannya yang sepi ini, Dika merasa seperti kembali menemukan dirinya.
Fira berdiri, siap untuk pulang ke rumah. "Jangan terlalu lama hilang, Dika. Kampung ini masih punya banyak cerita untuk kamu temukan."
Dika mengangguk. "Aku akan berusaha."
Ketika Fira pergi, Dika masih duduk di dermaga itu, menatap laut yang kini gelap. Senja telah menghilang, namun keheningan itu tetap ada. Kadang, kita tidak perlu lari dari kenyataan. Terkadang, kita hanya perlu berhenti sejenak dan mendengarkan suara hati kita sendiri.
Dan di dermaga itu, di ujung senja, Dika merasa siap untuk memulai perjalanan baru—tanpa harus melupakan masa lalu yang telah membentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar