Kamis, 21 November 2024

TEKS NARASI(cerpen)-Muhammad Danial ilyasa Muzaki

 Di Balik Tugas dan Mimpi -- Muhammad Danial ilyasa Muzaki 


Pagi itu, suara alarm ponsel membangunkan saya dari tidur. Saya mengulurkan tangan untuk mematikannya, lalu menatap langit-langit kamar. Hari ini tidak berbeda dengan hari lainnya—sekolah, tugas, dan rutinitas yang entah kenapa selalu terasa melelahkan.  


Setelah mandi dan mengenakan seragam, saya menuju meja makan. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng dengan telur mata sapi favorit saya. Ayah sudah berangkat lebih dulu ke pekerjaannya di pabrik, sementara Ibu sibuk mencuci piring setelah sarapan.  


“Nanti pulang sekolah langsung ke rumah, ya. Bantu Ibu beres-beres. Ada tamu mau datang malam,” katanya sambil terus mencuci.  


Saya hanya mengangguk. Sejujurnya, saya ingin mampir ke rumah Dimas untuk belajar kelompok. Minggu depan ada ulangan Matematika, dan saya masih kesulitan memahami materi persamaan kuadrat. Tapi saya tahu, tugas di rumah juga harus diselesaikan.  


Di sekolah, saya bertemu Dimas dan teman-teman lain di kelas. Kami mengobrol sebentar sebelum bel berbunyi, membahas soal-soal Matematika yang sudah seperti mimpi buruk bagi kami.  


“Nanti mampir ke rumah gue aja, Dan,” kata Dimas, menepuk pundak saya.  


“Lihat dulu, Dim. Kalau gue sempat,” jawab saya sambil tersenyum kecil.  


Pelajaran hari itu berjalan seperti biasa, tapi pikiran saya melayang ke hal lain. Di balik tumpukan tugas dan tekanan ulangan, saya punya mimpi yang jarang saya ceritakan pada siapa pun. Saya ingin melanjutkan kuliah, meski sadar keluarga saya tidak punya banyak uang. Ayah pernah berkata bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengubah hidup, tapi saya tahu biayanya tidak murah.  


Pulang sekolah, saya langsung menuju rumah seperti janji saya pada Ibu. Rumah kami tidak besar, hanya sebuah bangunan sederhana dengan dua kamar dan dapur kecil di belakang. Ibu sudah menunggu di ruang tamu, tersenyum saat melihat saya membuka pintu.  


“Bantu Ibu angkat kursi ke luar, ya. Mau dipel dulu lantainya,” katanya.  


Saya menurut, mengangkat kursi satu per satu. Setelah selesai membantu Ibu, saya masuk ke kamar untuk mengerjakan tugas. Tapi pikiran saya terusik oleh percakapan tadi pagi dengan Dimas. Saya ingin sekali belajar kelompok dengannya, tapi waktu saya selalu terbagi untuk banyak hal.  


Sore itu, saya mendengar suara Ibu di telepon. Dari nada suaranya, saya tahu dia sedang bicara dengan Ayah.  


“Yah, uang buat beli buku Daniel masih kurang. Mungkin nanti Ibu bisa pinjam dulu sama Bu Siti,” katanya pelan.  


Mendengar itu, hati saya terasa sesak. Saya tahu keluarga kami berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk biaya sekolah saya. Tapi Ibu dan Ayah tidak pernah mengeluh.  


Malamnya, setelah tamu yang ditunggu Ibu datang dan pergi, saya duduk bersama Ayah di teras. Dia sedang menyeruput kopi hitam kesukaannya.  


“Ayah, kenapa dulu Ayah nggak kuliah?” tanya saya tiba-tiba.  


Ayah menatap saya dengan senyum kecil. “Dulu, kakek dan nenek nggak punya uang, Nak. Jadi Ayah langsung kerja setelah SMA. Tapi Ayah selalu ingin kamu bisa sekolah lebih tinggi.”  


“Kalau uangnya nggak cukup, gimana, Yah?” Saya menunduk, takut melihat reaksi Ayah.  


Ayah menepuk pundak saya lembut. “Kalau kita mau berusaha, pasti ada jalan. Jangan takut bermimpi, Daniel. Yang penting kamu serius dan nggak mudah menyerah.”  


Kata-kata Ayah membuat saya berpikir sepanjang malam. Saya tahu, untuk menggapai mimpi, saya harus bekerja lebih keras. Saya harus belajar lebih giat, meski sering merasa lelah.  


Keesokan harinya, saya bangun lebih awal dari biasanya. Saya ingin mulai mengubah kebiasaan, menjadi lebih disiplin dan rajin. Sepulang sekolah, saya mampir ke rumah Dimas untuk belajar bersama. Kami mengerjakan soal Matematika hingga sore, saling membantu memahami materi yang sulit.  


Saat pulang, saya melewati sebuah toko buku. Saya berhenti sejenak, melihat deretan buku yang dipajang di etalase. Di sana, ada sebuah buku tentang beasiswa kuliah. Saya langsung masuk dan membeli buku itu dengan uang tabungan yang saya kumpulkan dari sisa uang jajan.  


Di rumah, saya membaca buku itu dengan penuh semangat. Saya mencatat informasi penting tentang cara mendapatkan beasiswa, universitas yang menawarkan program gratis, dan langkah-langkah yang harus diambil. Saya tahu ini tidak akan mudah, tapi saya merasa lebih percaya diri setelah mendapatkan informasi tersebut.  


Hari-hari berikutnya, saya mulai mengatur waktu dengan lebih baik. Saya membantu Ibu di rumah, belajar lebih giat, dan tetap menyempatkan waktu untuk teman-teman. Ayah dan Ibu terlihat senang melihat perubahan saya, meski mereka tidak tahu apa yang sebenarnya saya rencanakan.  


Pada suatu malam, saya menunjukkan buku yang saya beli kepada Ayah dan Ibu.  


“Ayah, Ibu, aku ingin coba daftar beasiswa. Kalau aku bisa dapat, mungkin kita nggak perlu pusing soal biaya kuliah,” kata saya.  


Ayah tersenyum bangga, sementara mata Ibu tampak berkaca-kaca.  


“Kalau itu mimpimu, Ayah dan Ibu akan selalu mendukung. Yang penting kamu jangan menyerah, ya,” kata Ayah.  


Malam itu, saya merasa langkah pertama menuju mimpi saya telah dimulai. Hidup memang penuh tantangan, tapi saya percaya, dengan usaha dan doa, semuanya bisa tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAH - AHMAD SETIAWAN

 Sisi Lain Media Sosial: Antara Manfaat dan Dampak Negatif bagi Masyarakat Modern Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keh...