Jumat, 15 November 2024

TEKS NARASI(cerpen)-AULIA TISYA

 *Judul: Senja di Tepi Laut*


Di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir pantai, hidup seorang pemuda bernama rehan. Setiap pagi, ia bangun sebelum matahari terbit, membasuh wajah dengan air dingin dari sumur, dan menyusun rencana harian di kepalanya. Sejak kecil, rehan sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana. Ayahnya seorang nelayan, dan ibunya mengelola warung kecil yang menjual berbagai kebutuhan harian. Kehidupan mereka bergantung pada laut dan apa yang diberikannya.


Pagi itu, seperti biasanya, rehan membantu ayahnya untuk menyiapkan perahu dan jala. Meskipun hasil tangkapan tidak selalu melimpah, mereka sudah cukup untuk hidup sederhana. rehan tak pernah mengeluh. Laut, meski kadang memberi hasil sedikit, selalu mengajarkan banyak hal padanya: ketekunan, kesabaran, dan rasa syukur atas setiap hal kecil yang didapatkan.


“rehan, hari ini kita mencari ikan di dekat terumbu karang,” kata Ayahnya, sambil menyisir rambutnya yang sudah memutih. “Cuaca cerah, mudah-mudahan ada banyak ikan.”


Mereka berlayar, menembus pagi yang perlahan semakin terang. Sesekali, rehan melempar pandangan ke laut lepas yang tenang, menikmati angin yang menyapu wajahnya. Di atas perahu yang berayun pelan, suasana menjadi lebih damai, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota.


Setelah beberapa jam berlayar, mereka tiba di tempat yang biasa mereka tuju. Dengan cekatan, rehan dan ayahnya mulai menurunkan jala. Proses itu memakan waktu, dan kadang-kadang terasa membosankan. Namun, bagi rehan, ada kedamaian tersendiri dalam keheningan laut, hanya suara ombak yang menerpa perahu dan deru angin.


Hasil tangkapan hari itu cukup baik. Mereka kembali ke desa dengan senyum di wajah, meskipun lelah. Rehan  merasa puas. Setiap ikan yang berhasil mereka bawa pulang, bukan hanya untuk makan malam, tetapi juga simbol kerja keras yang telah mereka lakukan bersama.


Sesampainya di rumah, ibu rehan sudah menunggu dengan secangkir teh hangat. Rumah mereka tidak besar, hanya sebuah rumah kayu sederhana dengan atap rumbia, namun di dalamnya terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Ibu rehan mempersiapkan ikan yang baru saja mereka bawa pulang untuk dijadikan lauk makan siang.


Siang itu, saat makan bersama, rehan duduk diam sambil menatap keluar jendela. Di luar, matahari sudah mulai turun perlahan, memancarkan cahaya keemasan yang menyentuh permukaan laut. Senja di tepi laut selalu memberi rasa tenang yang sulit dijelaskan.


“Kenapa diam saja, rehan?” tanya ibunya, sambil menyuapkan ikan goreng ke dalam piring rehan.


rehan  tersenyum dan menjawab, “Hanya berpikir, betapa indahnya hidup ini, Bu. Sederhana, tapi penuh makna.”


Ibu rehan tersenyum bijak. “Itu karena kita tahu apa yang kita punya, nak. Banyak orang lupa untuk bersyukur, bahkan atas hal-hal yang tampaknya kecil. Padahal, kebahagiaan sering kali datang dari hal yang sederhana.”


Setelah makan, rehan berjalan menuju pantai, tempat favoritnya untuk menenangkan pikiran. Angin sore itu sejuk, dan langit berwarna oranye. Di kejauhan, kapal-kapal nelayan mulai kembali ke pelabuhan, mengangkut hasil tangkapan mereka.


Saat matahari hampir tenggelam, rehan duduk di pasir, memandangi laut yang tampak luas dan tak terhingga. Ia merasa hidupnya seperti ombak yang datang dan pergi, terkadang tenang, terkadang bergelora, tetapi selalu kembali ke tempat yang sama. Laut mengajarinya untuk selalu kembali setelah setiap gelombang yang datang.


Pada senja yang tenang itu, rehan merasakan damai dalam hatinya. Kehidupannya mungkin sederhana, tapi itulah yang membuatnya merasa cukup. Karena terkadang, kebahagiaan tak perlu sesuatu yang besar. Cukup dengan menikmati setiap detik yang ada, seolah laut dan langit adalah teman setia yang akan selalu ada untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAH - AHMAD SETIAWAN

 Sisi Lain Media Sosial: Antara Manfaat dan Dampak Negatif bagi Masyarakat Modern Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keh...