"Pulang ke Rumah"
Pagi itu, Angga terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia melihat langit biru yang jernih dari jendela kamarnya. Ada rasa gelisah yang mengganjal di dada. Sudah hampir lima tahun sejak ia meninggalkan rumah, dan belum sekalipun ia pulang. Tapi, pagi ini, hatinya terasa berbeda. Mungkin, saatnya untuk kembali.
Setelah sarapan, Angga mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Sebuah tas punggung sederhana dan koper kecil sudah cukup. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya untuk mengunjungi rumah, tetapi juga untuk menghadapinya—kenangan yang pernah ia tinggalkan begitu saja.
Di dalam mobil, perjalanan terasa panjang meskipun jaraknya tak begitu jauh. Setiap kilometer yang ia lewati membawa memori-memori lama, seperti bayangan yang terus membayanginya. Rumah yang dulu penuh tawa kini terasa sunyi. Bapaknya, yang dulu selalu sibuk dengan pekerjaannya, sudah tidak ada. Ibunya, yang selalu sabar dan penuh cinta, kini tinggal sendiri di rumah yang semakin lama semakin sunyi.
Angga memegang setir dengan erat. Ia tak bisa menahan perasaan campur aduk yang tiba-tiba muncul. Rasa bersalah, rindu, dan kebingungan bercampur menjadi satu. Kenapa ia merasa takut untuk pulang? Kenapa ia merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumahnya?
Akhirnya, mobil berhenti di depan rumah. Rumah tua itu masih berdiri kokoh, meski terlihat sedikit pudar oleh waktu. Angga menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Langkahnya terasa berat, namun ia tahu ini adalah langkah yang harus diambil.
Saat ia memasuki rumah, angin sepoi-sepoi menyapa wajahnya. Tak ada suara lain selain suara detak jam yang terdengar di ruang tamu. Semua terasa sama, tapi berbeda. Angga berjalan pelan, menuju dapur, tempat ibunya sering memasak. Dan di sana, ia melihat sosok ibu yang sedang duduk di kursi kayu, menunggu.
“Ibu…” suara Angga bergetar. Ibunya menoleh, dan senyum lembut muncul di wajahnya.
“Angga, anakku… kamu akhirnya pulang,” kata ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Angga merasa dadanya sesak. Ia menatap ibunya yang kini tampak lebih tua. Banyak waktu yang hilang tanpa bisa ia kembali. Dalam hening, ia berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat-erat. Semua penyesalan, rasa sakit, dan kerinduan yang ia pendam selama ini, seolah lepas begitu saja.
“Maafkan aku, Bu… aku baru sadar betapa berharganya rumah ini. Betapa berharganya dirimu,” bisik Angga dengan suara penuh sesak.
Ibunya membalas pelukannya. “Tak perlu meminta maaf, Nak. Pulang adalah yang terpenting. Rumah ini selalu ada untukmu.”
Setelah lama terdiam dalam pelukan itu, Angga akhirnya merasakan kedamaian yang selama ini ia cari. Mungkin perjalanan ini bukan hanya tentang kembali ke rumah, tetapi juga tentang kembali kepada dirinya sendiri.
Dan di sana, di rumah yang penuh kenangan itu, Angga tahu bahwa ia akhirnya pulang—bukan hanya ke tempat, tetapi juga ke hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar